Penulis : Natalie J. Tangkepayung & Henderite L. Ohee
Gelompang Protes
Terjadi gelombang protes masyarakat di Tanah Papua dalam beberapa waktu belakangan ini yang menyuarakan penolakan rencana pemerintah pusat untuk menghidupkan kembali program transmigrasi ke Papua.
Protes ini datang dari kelompok masyarakat adat, mahasiswa hingga anggota DPD dan legislator dari Papua. Protes berlangsung tidak hanya di ruang terbuka seperti demonstrasi di jalanan yang dilakukan oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Jayapura yang melalui Koordinator Umum aksi BEM se Jayapura, Maksi You menyerukan “Papua bukan tanah kosong, kami orang Papua masih ada. Kami minta Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto membatalkan program transmigrasi,” pada Senin 4 November 2024 di Jayapura.
Dua nggota DPD RI dari Papua Barat Lamek Dowansiba dan Paul Finsen Mayor anggota DPD RI asal Provinsi Papua Barat Daya (PBD) di Kompleks Parlemen Jakarta pada Selasa, 22 Oktober 2024 di Kompleks Parlemen Jakarta seperti dikutip dari Kompas.com, menolak dan meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mengkaji ulang rencana pemerintah menggarap program transmigrasi ke Papua.
Selain itu legislator Papua, John N.R. Gobay, dikutip dari RRI.co.id mengingatkan bahwa pelaksanaan program transmigrasi di Papua harus sejalan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua.
Menurut Gobay, langkah pemerintah dalam menetapkan kawasan transmigrasi harus berlandaskan regulasi khusus yang berlaku di Papua dan menghormati hak masyarakat adat.
Protes penolakan ini dipicu oleh pernyataan Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara bahwa Kementerian Transmigrasi mendapat arahan dari Presiden Prabowo Subianto untuk mengadakan program transmigrasi ke wilayah Indonesia Timur, terutama Papua, guna mewujudkan pemerataan kesejahteraan daerah-daerah di Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikannya dalam acara serah terima jabatan di kementerian pada 21 Oktober 2024 yang lalu. Pernyataanya sontak memicu keresahan masyarakat di Tanah Papua.
Penjelasan Pemerintah dan Status Otsus Papua
Penjabat Gubernur Papua Mayjen TNI. (Purn). Ramses Limbong, S.IP., M.Si pada Senin, 4 November 2024 di Jayapura seperti yang dikutip Antaranews.com menyatakan bahwa rencana ini masih menunggu petunjuk pusat baik teknis dan seperti apa modelnya.
“Masih menunggu kajian lebih lanjut mengenai model transmigrasi yang tepat dan saya yakin dalam pengambilan kebijakan tidak dilakukan secara terburu-buru karena pasti ada rapat koordinasi dan pertimbangan masukan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat, ” ujar Ramses Limbong.
Setelah menuai gelombang protes dari berbagai lapisan masyarakat di Papua, beberapa waktu yang lalu menteri transmigrasi menyatakan bahwa “Penempatan kepala keluarga transmigran dari luar Papua ke Papua saat ini sudah tidak memungkinkan lagi,” kata Iftitah dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/11) seperti yang dilansir CNN Indonesia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa program transmigrasi yang masih mungkin dilakukan di Pulau Papua hanya sebatas program transmigrasi lokal dan revitalisasi kawasan transmigrasi.
Bila kita merujuk kepada status Otonomi Khusus Papua dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Pasal 61 Ayat 3 berbunyi “Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilakukan dengan persetujuan Gubernur”.
Selain itu dalam Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan pada Pasal 44 disebutkan Ayat (1) Kebijakan transmigrasi di Provinsi Papua akan dilaksanakan setelah orang asli Papua mencapai jumlah dua puluh juta jiwa – sementara menurut sensus penduduk Tahun 2020 di Tanah Papua ada 5,4 juta total penduduk. Kemudian pada ayat (2) Kebijakan transmigrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan dan persetujuan MRP dan DPRP. Dengan demikian, amanat undang-undang otsus Papua dan Perdasi di atas jelas menyatakan bahwa transmigrasi dari luar Papua tidak dapat dilakukan saat ini.
Sejarah Transmigrasi di Papua
Melihat sejarah transmigrasi di Papua, menurut Umi Yuminarti dalam “Kebijakan Transmigrasi dalam Kerangka Otonomi Khusus di Papua: Masalah dan Harapan” yang dimuat pada Jurnal Kependudukan Indonesia Vol. 12 No. 1 Juni 2017, bahwa transmigrasi di Papua dimulai sejak penjajahan Belanda di Indonesia. Pemerintah Belanda memulai program tersebut dengan nama kolonisasi. Proses pemindahan penduduk berlanjut hingga Papua masuk sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1963.
Program transmigrasi di Papua mulai ditetapkan dengan adanya kebijakan Presiden Soeharto melalui Keppres No.7 Tahun 1978 tentang Penentuan Provinsi Irian Jaya sebagai salah satu daerah provinsi di Indonesia. Provinsi ini (Tanah Papua sekarang) dapat dikatakan sebagai salah satu wilayah penerima transmigran tertinggi pada tahun 1978, selain Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.
Untuk Provinsi Papua saja (sebelum dimekarkan) sampai tahun 2012, jumlah transmigran yang telah ditempatkan sebanyak 147 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang terdiri 53.853 KK atau 207.277 jiwa. Luas lahan yang dicadangkan dan potensial untuk lokasi permukiman sebanyak 906.857 Ha. Luas lahan yang digunakan untuk pembangunan permukiman transmigrasi di sembilan kabupaten adalah 231.620 Ha, sehingga sisa lahan yang belum dibuka 675.237 Ha, ini hanya untuk Provinsi Papua saja (Dinas Kependudukan, Tenaga Kerja dan Pemukiman Provinsi Papua, 2012).
Keanekaragaman Hayati dan Pembukaan Lahan untuk Transmigrasi
Secara geografis, luas Papua adalah 412.215 km2 (Perpres No. 24 Tahun 2023 tentang RIPPP 2022-2041) dimana terdapat hutan rimba tropis tua terluas yang masih ada di Asia Pasifik. Papua yang didominasi oleh jajaran pegunungan tengah menghasilkan curah hujan yang tinggi, yang dialirkan ke utara ke pedalaman daerah aliran sungai Mamberamo yang luas dan ke selatan menuju dataran aluvial segitiga yang melebar ketika mencapai arah timur hingga ke daerah perbatasan Papua Nugini (PNG).
Sebuah publikasi ilmiah terbaru tentang Papua, dimana 99 orang ahli peneliti flora dan fauna Papua dalam Majalah Nature tahun 2020 dengan judul “New Guinea has the world’s richest island flora” menyatakan bahwa Papua merupakan pulau dengan keanekaragaman tumbuhan terbesar di dunia. Pulau terbesar kedua di Indonesia ini memiliki 13.634 jenis tumbuhan. Jumlah ini 2.000 kali lebih banyak dari jenis flora di Madagaskar, pulau dengan keanekaragaman tumbuhan tertinggi kedua di dunia.
Lanskap geologi Papua yang unik, dilintasi oleh 32 lempeng tektonik yang menyebabkan bentang alam geologi Papua sanagt beragam. Pulau ini memiliki puncak Jaya Wijaya yang menjulang setinggi 4.884 meter di atas permukaan laut, hutan pegunungan, hutan dataran rendah, padang rumput, dan hutan bakau di pesisir pantai. Kekayaan bentang alam tersebut menciptakan berbagai ekosistem yang unik dengan tingkat endemisme yang tinggi, yaitu 68%.
Melihat fakta ini maka pembangunan, termasuk program transmigrasi lokal di Tanah Papua perlu dilakukan dengan sangat hati-hati agar kita tidak kehilangan ekosistem hutan dan landscape yang bernilai keanekaragaman hayati tinggi ini. Dari sudut pandang lingkungan hidup, pembukaan areal baru untuk pemukiman dan lahan pertanian atau perkebunan tentu saja berpotensi mengganggu bahkan merusak lingkungan dan ekosistem hutan yang ada.
Untuk itu pemerintah perlu memperhatikan hal-hal berikut dalam perencanaan dan pelaksanaan program revitalisasi transmigrasi, transmigrasi lokal atau transmigrasi di dalam Pulau Papua jika nantinya akan dilaksanakan oleh pemerintah, yaitu:
Perencanaannya harus melibatkan masyarakat lokal atau masyarakat adat setempat. Melalui pelaksanaan prinsip free, prior and informed consent (FPIC) atau persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (Padiatapa). Hal ini penting dalam proyek pembangunan yang akan berada dalam wilayah masyarakat adat atau masyarakat lokal.
Perlu dilakukan pemetaan partisipatif bersama masyarakat adat untuk memetakan wilayah adatnya dan potensi sumber daya alam yang ada, serta kerentanan lingkungan pada lokasi transmigrasi dilakukan diawal (jika belum pernah dipetakan sebelumnya).
Melaksanakan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang komprehensif untuk mengidentifikasi potensi dampak positif dan negatif terhadap lingkungan sekitar.
Melibatkan kelompok tenaga ahli dalam pemilihan dan perencanaan lokasi hingga penempatan transmigran dilakukan dengan bijaksana, misalnya ahli perencanaan ruang, ahli ekologi dan keanekaragaman hayati Papua, ahli antropologi, dan ahli sosial kemasyarakatan.
Jika transmigran diarahkan untuk mendorong sektor pertanian, maka teknologi pertanian yang ramah dan sesuai dengan kondisi lingkungan setempat termasuk penerapan pertanian berkelanjutan perlu diperhatikan.
Peningkatan keterampilan melalui pelatihan bagi transmigran lokal tentang teknik pertanian berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam, dan pelestarian lingkungan sekitarnya penting untuk diadakan bermitra dengan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. (Redaksi Topik)