Jayapura,
Topikpapua.com, – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengecam keras
tindak kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis saat meliput aksi di sekitar Gedung
Bawaslu, Jakarta, yang berujung ricuh pada Rabu (22/05/19). Tindak kekerasan
dan intimidasi itu menimpa sejumlah jurnalis tv, radio dan online.
Adapun sejumlah jurnalis yang mengalami kekerasan di antaranya, Budi Tanjung,
jurnalis CNNIndonesia TV; Aji Fatahilah, jurnalis iNews; Ryan, jurnalis CNNIndonesia.com; Ryan, jurnalis MNC Media;
Fajar, jurnalis Radio Sindo Trijaya; Fadli Mubarok, jurnalis Alinea.id, dan dua
jurnalis RTV, yaitu Intan Bedisa dan Rahajeng Mutiara.
Ketua Umum Pengurus Pusat IJTI Yadi Hendriana mengatakan, Budi Tanjung dipukul
di bagian kepala dan rekaman videonya di ponsel dihapus oleh beberapa oknum
anggota Brimob di depan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Wahid Hasyim,
Jakarta Pusat. Sementara Aji Fatahilah dipukul oleh oknum Brimob saat melakukan
peliputan di depan kantor Bawaslu, Jakarta Pusat.
“Ryan juga mengalami hal yang sama. Ryan mengalami kekerasan saat melakukan
peliputan di sekitar jalan Jati Baru, Tanah Abang, Jakarta Pusat,” kata Yadi dalam siaran pers yang di terima Redaksi
Topik, Kamis (23/05/19).
IJTI menilai kekerasan terhadap
jurnalis juga dilakukan oleh massa aksi. Mereka melakukan persekusi dan
merampas peralatan kerja jurnalis seperti kamera, telepon genggam, dan alat perekam.
Massa memaksa jurnalis untuk menghapus semua dokumentasi berupa foto maupun
video. “Beberapa jurnalis bahkan mengalami tindak kekerasan fisik berupa
pemukulan,” ujar Yadi.
Yadi mengatakan, IJTI mengecam keras tindak kekerasan tersebut. Pasalnya, tugas
jurnalis jelas dilindungi oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 8
Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan, dalam
menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum.
“Kerja-kerja jurnalistik meliputi mencari bahan berita, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan kepada publik. Pelaku tindak kekerasan
bisa dijerat pasal pidana yang merujuk pada KUHP, serta Pasal 18 UU Pers,
dengan ancaman dua tahun penjara atau denda Rp500 juta,” katanya.
Atas peristiwa tersebut, IJTI mengeluarkan tujuh poin pernyataan sikap menanggapi tindak kekerasan
dan intimidasi terhadap jurnalis saat meliput aksi di sekitar Gedung Bawaslu,
Jakarta, berujung ricuh pada Rabu (22/5/2019) tersebut, yakni:
1. IJTI mendesak Propam Polri menindak tegas dan memproses sesuai hukum yang berlaku bagi oknum anggota Polri yang telah melakukan kekerasan terhadap para jurnalis.
2. Mendesak aparat kepolisian segera mengambil langkah tegas dan menangkap pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang tengah menjalankan tugasnya.
3. Kekerasan terhadap jurnalis yang tengah bertugas adalah ancaman nyata bagi kebebasan pers dan demokrasi yang tengah tumbuh di tanah air.
4. Meminta aparat keamanan dan masyarakat untuk menghormati dan mendukung iklim kemerdekaan pers, tanpa ada intimidasi serta menghalangi kerja jurnalis di lapangan.
5. Mengimbau kepada para pimpinan media massa untuk bertanggung jawab menjaga dan mengutamakan keselamatan jurnalisnya. Sebab, tidak ada berita seharga nyawa.
6. Mengimbau seluruh jurnalis televisi waspada, berhati-hati dan mengutamakan keselamatan saat menjalankan tugasnya. Salah satunya dengan tidak memaksakan diri mengambil gambar terlalu dekat di tengah kerumunan massa saat kericuhan terjadi.
7. Mengingatkan kepada seluruh jurnalis di Indonesia agar selalu berpegang teguh pada kode etik jurnalistik dalam menjalankan tugasnya. Fungsi pers adalah menyuarakan kebenaran serta berpihak pada kepentingan orang banyak.
Hal senada juga di sampaikan oleh Ketua IJTI Provinsi Papua, Meirto Tangkepayung, menurut Nugie sapaan akrap Meirto, Kekerasan yang di lakukan terhadap Jurnalis saat meliput aksi 22 Mei tersebut, sangat menciderai semangat kebebasan Pers yang dengan susah payah di bangun oleh para pejuang Pers di Indonesia.
“ Saya pikir kita semua sudah sepakat ya.., bila Semangat kita dari sabang sampai merauke sama, yakni menjunjung tinggi kebebasan Pers yang berdasarkan pada kode etik jurnalistik dan UU Pers No 40 Tahun 1999.., nah kalau masih saja ada tindak kekerasan seperti ini, lalu bagaimana Pers Indonesia bisa berkembang, “ Tegas Nugie.
Menurut Nugie, bila aksi kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi di Indonesia, atau bahkan terkesan di ‘biarkan’ dengan sejuta alasan, maka Pers yang seharusnya menjadi control sosial bisa berubah arah bahkan bisa kembali terkekang seperti zaman orde baru.
“ Kalau Pers yang katanya sebagai Pilar keempat di NKRI ini saja sudah tidak di hargai, bagaimana mungkin control sosial itu bisa di jalankan dengan baik..?, “ kata nya.
“ Sikap Kami IJTI Papua Jelas sudah di sampaikan lewat 7 pernyataan sikap yang di keluarkan langsung oleh Pengurus IJTI Pusat, kami berharap agar pernyataan sikap kami bisa segera di tanggapi dan di respon, agar kinerja Pers di Indonesia makin baik, “ Pungkas Nugie. (Redaksi Topik)