Nabire, Topikpapua.com, – Fajar Paskah tak datang dengan parade. Ia datang diam-diam, seperti embun yang turun ke tanah, seperti doa yang terucap dalam hati seorang ibu yang menanti kesembuhan anaknya. Di Papua Tengah, fajar itu bukan sekadar simbol keagamaan, ia adalah napas baru bagi tanah yang sudah terlalu lama memikul beban luka, kemiskinan, keterasingan, dan sunyi yang tak selalu berasal dari alam, tapi dari kebijakan yang luput menoleh ke pinggir.
Di banyak tempat, anak-anak masih bermimpi tanpa jendela. Mereka belajar di bawah ancaman peluru, bukan lonceng sekolah. Di daerah yang diselimuti konflik sosial maupun keamanan, pendidikan dan kesehatan nyaris menjadi kemewahan. Guru-guru mengajar sambil berjaga. Tenaga kesehatan merawat sambil waspada. Dan para orang tua hanya bisa berdoa agar anak mereka pulang dari sekolah, atau kembali dari puskesmas, dengan selamat. Di wilayah-wilayah rawan ini, Paskah datang bukan hanya sebagai kabar gembira iman—tetapi sebagai seruan sunyi yang menggugah nurani:“ Bukankah mereka juga layak untuk hidup dalam damai dan sehat seperti lainnya? ”
Pemerintah Papua Tengah telah memilih untuk tidak lagi menunggu sepenuhnya pada pemerintah pusat. Dalam semangat kasih yang bangkit, mereka menyatakan keberanian ” membiayai sendiri pendidikan dan layanan kesehatan, termasuk bagi wilayah-wilayah konflik yang sering dilupakan peta pembangunan “. Tak peduli seberapa jauh, seberapa sulit, seberapa rawan—setiap anak tetap berhak untuk belajar. Setiap manusia tetap berhak untuk sembuh. Karena kasih sejati tidak hanya menyentuh yang mudah dijangkau, tetapi justru berjalan ke tempat yang paling ditinggalkan.
Dan di sinilah kebangkitan itu terjadi. Di tengah kabut kekerasan, cinta tetap mencari jalan. Di balik rintik senapan, harapan tetap tumbuh. Bukan dengan kemewahan, tapi dengan kehadiran yang sabar dan kebijakan yang berpihak. Seperti tertulis dalam Yesaya 58:8 :
Maka terangmu akan merekah seperti fajar, dan kesembuhanmu akan segera tumbuh; kebenaranmu akan berjalan di depanmu dan kemuliaan Tuhan akan menjadi perlindunganmu.
Paskah mengingatkan kita bahwa kasih yang bangkit tak memilih tempat untuk menetap. Ia hadir di ruang kelas sederhana yang dibangun ulang setelah dibakar. Ia duduk bersama perawat yang tinggal dalam ketakutan. Ia berdiri bersama pemimpin yang bersumpah bahwa tak ada satu pun rakyatnya akan tertinggal meski di tengah konflik, meski dalam gelap, meski dalam sunyi.
Dan hari ini, di Papua Tengah, kasih itu sedang bekerja. Ia tidak membawa pedang, tapi membawa pena dan kotak P3K. Ia tidak mencari panggung, tapi memilih tinggal di honai. Karena kasih, seperti Paskah, selalu datang bukan untuk disambut megah, tetapi untuk menyelamatkan dengan lembut. (***)
Penulis : Silwanus Sumule / ASN Papua Tengah